SINOPSIS FILM Perang Kota (2025)
Sebagai adaptasi dari buku Mochtar Lubis berjudul “Jalan Tak Ada Ujung”, “Perang Kota” menceritakan tentang sebuah kota (tepatnya Jakarta pada tahun 1946) yang dirusak oleh peperangan. Bangunan dibakar, dan orang-orang diburu dan dijagal secara brutal. Namun, di balik semua itu, konflik lain sedang berlangsung. Karena perang ini terjadi di dalam jiwa penduduk kota, hanya mereka yang mengalaminya yang dapat merasakannya.
Guru Isa, yang diperankan oleh Chicco Jerikho, adalah seorang pejuang kemerdekaan yang mahir bermain biola. Selain itu, istrinya, Fatimah, yang diperankan oleh Ariel Tatum, sangat mahir memainkan piano. Isa secara rahasia membuat rencana untuk menghancurkan kekuasaan Belanda bersama kelompoknya, dan Fatimah berjuang untuk menghidupi anak mereka, Salim (Ar Barrani Lintang), di tengah keadaan ekonomi yang buruk.
Penonton langsung dibawa ke konflik yang memanas yang dibuat oleh sutradara Mouly Surya. Tanpa intro yang panjang atau perkenalan yang panjang. Akibatnya, latar belakang terasa hidup. Kita seolah-olah memasuki dunia yang sudah berjalan sebelum cerita filmnya dimulai, dan cerita itu akan terus berjalan sampai proyektor dimatikan dan lampu studio kembali menyala.
ALUR CERITA FILM Perang Kota (2025)
Pada pertemuan pertama kami dengan Guru Isa, dia secara rahasia mencuri buku sekolah untuk membeli sedikit nasi untuk keluarganya. Setelah itu, ia pergi ke rumah sesama pejuang. Namanya Hazil, yang diperankan oleh Jerome Kurnia, dan merupakan putra Kamaruddin, yang diperankan oleh Rukman Rosadi, adalah seorang pejabat yang tanpa ragu menjilat pihak penjajah. Pada saat yang sama, Fatimah harus mengangkat senjata saat pasukan India menyerbu warung tempatnya berbelanja.
Dalam situasi di mana sang istri bertempur secara fisik bersenjatakan senapan, sedangkan suaminya bermain musik sembari mengatur strategi, muncul pemikiran tentang peran gender yang menarik. Ketika kita mengetahui bahwa Isa tidak bisa ereksi, dinamika itu semakin kompleks. Pertanyaan tentang maskulinitas pejuang tanpa rasa takut ini semakin ironis karena kekuatan Chicco.
Namun, Perang Kota bukanlah pesta untuk menunjukkan maskulinitas. Di sini, bahkan upaya untuk “mengejar kejantanan” dianggap konyol. Pada satu kesempatan, Isa gagal menghilangkan target karena senapannya yang terlalu cepat; ini juga merupakan bukti ketidakmampuan si protagonis untuk “menembak” di atas ranjang.
Mungkin karena itulah Isa tampak tenang saat garis batas antara hidup dan mati semakin menipis setelah misi lain yang berakhir sukses. Dia merasakan kembalinya kejantanan. Namun, apakah semuanya menguntungkan? Karena itu, Fatimahlah yang harus menanggung beban berat tanpa disadari Isa. Ketidakpastian masa depan adalah jalan yang harus ditempuh sang istri.
REVIEW FILM Perang Kota (2025)
Sinematografi yang disutradarai oleh Roy Lolang, bersama dengan musik beraroma noir yang diciptakan oleh Yudhi Arfani dan Zeke Khaseli, mencuatkan keindahan presentasi audiovisual di antara pertempuran yang jauh dari kesan cantik. Perang Kota bukanlah hadiah perang yang berlebihan. Ia lebih mengingatkan pada judul seperti Son of Saul (2015), yang berfokus pada studi karakter daripada pembunuhan.
Jumlah aspeknya juga sebanding (4:3, berbanding 1.37: 1 untuk Son of Saul), yang dimaksudkan untuk menggambarkan rasa tertekan yang dimiliki setiap karakter. Mereka tidak hanya terkunci, tetapi mereka juga melihat jauh di tengah perselisihan yang mengaburkan perbedaan antara perjuangan bela negara dan kejahatan biasa.
Misalnya, ketika Isa menemukan sekelompok “pejuang” membantai seorang perempuan karena dia percaya dia adalah mata-mata Belanda, meskipun tidak ada bukti yang cukup. Melalui Perang Kota, Mouly Surya ingin mengingatkan bahwa bau perang sering digunakan untuk menutupi bau lain yang dihasilkan oleh kebusukan manusia.